Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA
Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis dan Penyusunan Program Foker LSM Papua Tahun 2013 - 2018 yang berlangsung di Hotel Numbay, Angkasa - Jayapura, mulai tanggal 4 Maret s/d 8 Maret 2013 telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan.

Senin, 23 Maret 2009

Kongres I Foker LSM Deklarasikan Lindungi Papua


(Sumber beritahttp://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-15-06-23-41/jayapura/3900-kongres-i-foker-lsm-deklarasikan-lindungi-papua)

JUBI --- Kongres I “Selamatkan Manusia dan Hutan Papua” oleh Foker LSM di Jayapura dari 19 hingga 21 November menghasilkan deklarasi penting bagi Papua.

Kongres memandang perlunya pelibatan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua. Pengelolaannya didasarkan pada kearifan lokal yang telah dibangun secara turun temurun.Kongres I yang digelar tiga hari itu menilai, masyarakat Papua semakin termarjinalkan dari proses pembangunan. Terutama setelah masuknya Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan, terjadinya pemekaran wilayah, berdirinya Infrastuktur Militer dan  Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak berpihak. Ketidakberpihakan juga telah menimbulkan pelanggaran HAM di Tanah Papua.

“Kami menyatakan kepedulian dan keprihatinan serta sikap kami bagi upaya pengakuan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat papua,” sebut peserta kongres yang terdiri dari Pemimpin Adat, Tokoh Agama, Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan aktivis perempuan.

Deklarasi memuat sejumlah point, antara lain, tidak memperjualbelikan lagi tanah milik masyarakat adat, gelar adat tidak bisa diserahterimakan kepada orang lain, pengelolaan SDA di Papua harus bebas dari keterlibatan TNI/Polri, masyarakat adat Papua harus terlibat aktif dalam seluruh proses pembangunan, dan segala bentuk eksploitasi SDA yang merusak lingkungan harus dihentikan.

Point lain menyebutkan, Papua harus bebas dari praktek pelacuran intelektual yang melegitimasi upaya pemekaran wilayah pemerintahan, merusak lingkungan hidup dan melanggar kearifan masyarakat adat yang dilakukan oleh akademisi dan aktifis organisasi masyarakat sipil, pemekaran wilayah kabupaten/kota dan di Papua segera dihentikan, segala bentuk kegiatan dan upaya perdagangan karbon dan kompensasi karbon yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat di Papua juga harus dihentikan.

Selanjutnya, kongres juga meminta pemerintah agar segera merealiasikan kebijakan-kebijakan nyata mendukung penguatan manusia dan pelestarian lingkungan hidup di Tanah Papua.

Pada bagian akhir, peserta kongres meminta pelanggaran hak intelektual yang dilakukan lembaga dan peneliti nasional serta internasional atas kekayaan flora dan fauna endemik Papua dihentikan, program keluarga berencana nasional juga dihentikan. 

Perlunya upaya serius penanggulangan  HIV/AIDS, kesehatan ibu dan anak, gizi harus digalakkan serta meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Papua. Terakhir melakukan penguatan kapasitas struktur, nilai dan norma adat.

Kongres I Selamatkan Manusia dan Hutan Papua melibatkan partisipan Foker, masyarakat adat di 7 wilayah, tokoh perempuan Papua dan akademisi. ***

Sabtu, 07 Maret 2009

Lindungi Hutan dan Manusia Papua

(Sumber berita :  http://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-23-00-07-55/papua-kini/4169-lindungi-hutan-dan-manusia-papua )

Dorang duduk bicara nasib hutan dan manusia Papua. (JUBI/Foto:Ronald Manufandu)

JUBI — Masuknya investasi dan mobilitas penduduk memacu tergusurnya manusia asli Papua. Konggres Pertama Selamatkan Manusia dan Hutan Papua menjadi salah satu lonceng peringatan menyikapi soal tanah dan proses minoritas penduduk asli Papua.

Hutan bagi masyarakat setempat ibarat gudang penyimpan makanan dan sumber obat obatan tradisional. Dibalik rimbunnya hutan Papua ternyata juga menyimpan beraneka ragam pengetahuan tradisional yang belum sempat didata dan diteliti.

Kalau pun sempat diteliti kebanyakan justru menguntungkan para penelitinya saja sedangkan masyarakat setempat pemilik pengetahuan hanya menjadi pelengkap penderita saja. Buah merah misalnya tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dan mereka hanya berfungsi sebagai penyuplai bahan baku kepada peneliti pengelola buah merah. Ini hanya sebagian kecil pengetahuan lokal milik masyarakat yang ternyata dimanfaatkan bagi kesehatan tanpa memikirkan masyarakat pemiliknya.

Untuk menghadapi beberapa perkembangan dan perubahan yang terjadi di kalangan masyarakat di tanah Papua. Foker LSM bersama beberapa partisipannya melakukan Konggres Pertama Selamatkan Manusia dan Hutan Papua di Jayapura.

Wakil Ketua MRP Frans Wospakrik dalam pemaparannya  mengatakan selama ini pengelolaan hutan tidak pernah melibatkan masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan. “Mereka terpinggirkan.” tegas Wospakrik seraya  menambahkan keterlibatan belum optimal dan masih pada posisi obyek semata atau pekerja/buruh saja. Akibatnya lanjut Wospakrik tidak memberikan kesejahteraan yang memadai bagi mereka, tidak merasa memiliki berbagai kebijakan dan program pengelolaan hutan secara berkelanjutan. “Masyarakat adat kehilangan sense of responsibility dan sense of owership atas kebijakan serta program pembangunan hutan,”ujar Wospakrik yang juga dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua di Manokwari.

Oleh sebab itu menurut Wospakrik perlu ada paradigma baru dalam melibatkan Masyarakat Adat di tanah Papua. “Perlu ada peningkatan peran serta dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, “ujar Wospakrik. Selain itu tambah Wospakrik peran LSM dan gereja, perguruan tingga, masyarakat adat  melakukan proses membedayakan diri

Kongres ini juga diikuti perwakilan dari tujuh wilayah adat di Tanah Papua, Provinsi  Papua dan Provinsi Papua Barat. Konggres  ini juga membahas persoalan krusial  yang terjadi di Papua mengenai manusia dan Hutan Papua, yang sudah hilang akibat  masuknya perusahaan-perusahaan asing yang merusak berjuta-juta hektar hutan. Padahal hutan bagi orang Papua dipandang sebagai mama bagi mereka. Mama yang memberikan kehidupan bagi orang Papua. Bayangkan kalau mama itu rusak dan sudah tentu manusia Papua juga akan rusak dan hilang ditelan badai perubahan yang mematikan.

Masuknya perusahan perusahaan dengan modal yang besar dan memberikan iming-iming kepada masyarkat  dan janji untuk mendapatkan kesejahteraan. Namun sebaliknya bukan kesejahteraan yang diperoleh namun kemelaratan yang diperoleh dan  masyarakat pemilik hak ulayat dipermainkan di atas tanah adatnya sendiri.
Foker LSM juga selama semester pertama 2008 telah melakukan riset kehutanan dan posisi masyarakat adat di lima wilayah adat yakni wilayah Ha Anim, Bomberay, Sairei, Mee Pago dan Mamta/Tabi untuk memotret dan menghimpun berbagai aspek tentang pengelolaan sumberdaya hutan yang mencakup pengetahuan lokal masyarakat adat sumber daya alamnya, aktivitas dan dampak berikutnya serta ikutan lain.

Adapun faktor faktor utama yang ditemukan dalam riset antara lain terdapat permukiman transmigrasi di atas tanah adat, lemahnya posisi tawar masyarakat adat, masih kurangnya kemauan pemerintah dalam melibatkan masyarakat adat dalam proses pembangunan.Adanya tekanan pemerintah, TNI dan Polri (pada masa Orde baru). Kebijakan pembangunan yang bias kepentingan.

John Jonga, Pastor Paroki Arso  Kabupaten Keerom menyatakan, di wilayah perbatasan masih terlihat  peran militer masih tinggi. Mereka juga ditengarai masih membekengi investor bidang Sawit di Kabupaten Keerom.”Selama 25 tahun perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom justru membikin masyarakat semakin miskin dan menderita, keterlibatan militer juga  masih ada,” kata JongaDia juga menegaskan aparat militer juga sangat  berperan dalam pengalihan lahan lahan di sana kepada pihak ketiga untuk perkebunan kelapa sawit.Pengalihan dilakukan akibat sering rusuhnya pabrik, harga sawit dibayar dibawah harga standar, ongkos angkutan tinggi, pungutan liar dari karyawan pabrik marak, alat timbang yang tidak tepat dan sarana jalan yang rusak.Dari data data penelitian yang pernah dilakukan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura di Kabupaten Keerom ternyata warga Papua di Kabupaten Keerom sebanyak 42 persen sedangkan non Papua sebanyak 58 persen.”Jika warga Papua di sana tak dilindungi, warga Arso kelak akan menjadi bimbang tak memiliki tanah lagi,” kata Jonga miris.Oleh karena itu lanjut dia Konggres Pertama Selamatkan Manusia dan Hutan Papua harus memandang perlu pelibatan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya alam di tanah Papua. Pengelolaanya harus berdasarkan pada kearifan lokal  yang telah dibangu secara turun temurun. 

Adapun Konggres Pertama yang berlangsung selama tiga hari menilai menilai, masyarakat Papua semakin termarjinalkan dari proses pembangunan. Terutama setelah masuknya Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan, terjadinya pemekaran wilayah, berdirinya Infrastuktur Militer dan  Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak berpihak.

Ketidakberpihakan juga telah menimbulkan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Kami menyatakan kepedulian dan keprihatinan serta sikap kami bagi upaya pengakuan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak masyarakat adat papua,” sebut peserta kongres yang terdiri dari Pemimpin Adat, Tokoh Agama, Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat dan aktivis perempuan.

Deklarasi juga memuat sejumlah point, antara lain, tidak memperjualbelikan lagi tanah milik masyarakat adat, gelar adat tidak bisa diserahterimakan kepada orang lain, pengelolaan SDA di Papua harus bebas dari keterlibatan TNI/Polri, masyarakat adat Papua harus terlibat aktif dalam seluruh proses pembangunan, dan segala bentuk eksploitasi SDA yang merusak lingkungan harus dihentikan.

Point lain menyebutkan, Papua harus bebas dari praktek pelacuran intelektual yang melegitimasi upaya pemekaran wilayah pemerintahan, merusak lingkungan hidup dan melanggar kearifan masyarakat adat yang dilakukan oleh akademisi dan aktifis organisasi masyarakat sipil, pemekaran wilayah kabupaten/kota dan di Papua segera dihentikan, segala bentuk kegiatan dan upaya perdagangan karbon dan kompensasi karbon yang tidak mengakui hak-hak masyarakat adat di Papua juga harus dihentikan.

Selanjutnya, kongres juga meminta pemerintah agar segera merealiasikan kebijakan-kebijakan nyata mendukung penguatan manusia dan pelestarian lingkungan hidup di Tanah Papua.

Pada bagian akhir, peserta kongres meminta pelanggaran hak intelektual yang dilakukan lembaga dan peneliti nasional serta internasional atas kekayaan flora dan fauna endemik Papua dihentikan, program keluarga berencana nasional juga dihentikan.

Perlunya upaya serius penanggulangan  HIV/AIDS, kesehatan ibu dan anak, gizi harus digalakkan serta meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Papua. Terakhir melakukan penguatan kapasitas struktur, nilai dan norma adat.

Dewan Adat Papua menyerukan perlunya penyelamatan tanah dan orang asli Papua, Bangsa Papua dan Ras Negroid di Pasifik. Jika tak diselamatkan, Bangsa Papua akan musnah.

“Telah terjadi creeping genoside dengan tujuan pemusnahan etnis Papua sejak integrasi,” kata Ketua Umum Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut, dalam Kongres I Selamatkan Manusia dan Hutan Papua,Untuk mengatasi permasalahan itu, menurut Forkorus perlu dibentuk tim independen. Tim ini akan bekerja untuk penyelamatan orang dan hutan Papua

Dia berpendapat, kriteria mendasar agar Orang Papua dijamin adalah menjadi mayoritas dari pasar politik dan ekonomi. Tanah Papua harus tetap menjadi mayoritas milik adat dan tidak dijual.
“Kita harus punya sistem yang bebas. Jika sudah mulai berkurang, berarti tanda-tanda pemusnahan mulai nampak,”ujar Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut.

Lebih lanjut Forkorus menyatakan, untuk tanah yang sudah terlanjur dijual kepada pihak lain tidak boleh di gugat kembali.Jangan ada lagi bujukan, terror dan intimidasi untuk Orang Papua. (Tim)