Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA
Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis dan Penyusunan Program Foker LSM Papua Tahun 2013 - 2018 yang berlangsung di Hotel Numbay, Angkasa - Jayapura, mulai tanggal 4 Maret s/d 8 Maret 2013 telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan.

Senin, 10 Januari 2011

FOKER LSM PAPUA


(sumber berita : http://www.infid.org/tentang-infid/anggota-infid/foker-lsm-papua/)
Inisiatif pembentukan Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua disingkat FOKER LSM Papua –untuk selanjutnya digunakan sebutan FOKER- muncul dari sebuah putaran diskusi sekelompok aktivis LSM yang memiliki perhatian khusus terhadap berbagai persoalan yang dihadapi di provinsi Papua -ketika itu bernama: provinsi Irian Jaya-. Putaran diskusi mulai digelar sejak awal tahun 1989 dan dilatarbelakangi oleh keluarnya Kebijakan Presiden RI pada tanggal 4 April 1989 tentang pemekaran orientasi pembangunan untuk Indonesia Bagian Timur (IBT).

Kebijakan tersebut telah menciptakan kekhawatiran para aktivis LSM akan terjadinya proses eksploitasi SDA besar-besaran di tanah Papua. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, mengingat berbagai bukti empirik tentang kecendrungan pembangunan di tanah Papua yang dijalankan pemerintah sebelumnya telah secara sistematis meminggirkan rakyat Papua dari penguasaan di ruang publik dalam aspek politik, ekonomi, social serta budaya. Terlebih, pihak-pihak tersebut juga bercermin terhadap proses ekspolitasi yang sudah terlebih dahulu diterapkan di Kawasan Indonesia Bagian Barat telah melahirkan proses peminggiran terhadap masyarakat lokal.

Para aktivis LSM tersebut memandang bahwa proses pembangunan di Papua, mutlak menuntut peranserta masyarakat, sebagai bagian sentral dan tujuan dari setiap proses pembangunan. Oleh karena itu peranserta masyarakat menjadi faktor esensial dalam strategi pencapaian tujuan pembangunan. Kondisi obyektif menunjukan bahwa“kemiskinan” yang berlangsung selama ini merupakan proses pemiskinan struktural yang disebabkan oleh tiadanya peluang peranserta masyarakat dalam pengambilan keputusan sehingga sangat lemah dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya (alam, sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya) yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

Dalam diskusi putaran pertama, dilaksanakan di Jayapura pada tanggal 27-28 Maret 1990 yang diikuti oleh para aktivis LSM di Papua, yaitu: Bambang Widjoyanto dan Budi Setyanto dari LBH Jayapura, Thaha M Al Hamid dari PPM Jayapura, Budi Subiyanto dan Roy Tjiong dari Bethesda Jayapura, SP Morin, Cliff R Marlessy, dan Tony Rahawarin dari YPMD Jayapura, George Aditjondro dari Universitas Satya Wacana Salatiga, Aristides Katoppo dari Suara Pembaharuan Jakarta, Filiks Wambrauw dan Max Prawar dari Klasis Biak Timur, Robby Helwedery dari Mitra Karya Merauke, Zr. Benedicta dari Delsos Keuskupan Asmats, John Nakiaya dari SKP Enarotali, Herman tebay dari Sinepup Wamena, Didimus Tebay dari P5 Moanemani, Max Fofid dari Ysanto Merauke, Max Mahuse dari Yapsel Merauke, M. St. E. Kilmaskossu dari PSL Uncen Manokwari, Maria R Ruwiastuti dari YKPHM Jayapura, Br. The v.d. Broek dari Keuskupan Jayapura.

Hasil diskusi tersebut berkembang mengerucut pada kesepakatan untuk melakukan gerakan bersama, guna mempersiapkan berbagai strategi untuk mendorong pengembangan peranserta rakyat Papua dalam penguasaan berbagai sumberdaya (politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya). Untuk menjalankan strategi tersebut akhirnyamenyepakati untuk membentuk sebuah Tim Kerja (Alert Committee) yang akan mengelola berbagai program dan kegiatan. Program-program yang dimandatkan terhadap Tim Kerja adalah mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang ada di tanah Papua dan melakukan serangkaian kegiatan penyiapan sumber daya manusia untuk melakukan aksi advokasi.

Setelah lebih dari satu tahun berjalan, di Jayapura pada tanggal 28-31 Agustus 1991 dilakukan diskusi putaran kedua untuk melakukan evaluasi terhadap hasil kerja tim kerja tersebut. Berdasarkan evaluasi tersebut, forum diskusi yang diikuti oleh: Bambang Widjoyanto dan Budi Setyanto dari LBH Jayapura, Paul S Baut dari YLBHI Jakarta, Thaha M Al Hamid dari PPM Jayapura, Roy Tjiong dari Bethesda Jayapura, Cliff R Marlessy, dari YPMD Jayapura, Tony Rahawarin dari Delsos Jayapura, S.P. Maryen dari Klasis Biak Timur, Robby Helwedery dari Mitra Karya Merauke, Zr. Benedicta dari Delsos Keuskupan Asmats, John Nakiaya dari SKP Enarotali, Herman Tebay dari Sinepup Wamena, Didimus Tebay dari P5 Moanemani, Max Fofid dari Ysanto Merauke, Max Mahuse dari Yapsel Merauke, Max J Tokede dari PSL Uncen Manokwari, Jacobus Wogim dari YKPHM Jayapura, Br. The v.d. Broek dari Keuskupan Jayapura.

Hasil evaluasi menunjukan bahwa pilihan model dalam bentuk tim kerja dipandang kurang efektif untuk menjalankan berbagai agenda yang dinilai penting. Pada akhirnya pada tanggal 31 Agustus 1991, model Alert Committee ini dirubah menjadi sebuah forum jaringan kerja antar LSM se-Papua. Forum jaringan tersebut kemudian dinyatakan secara formal dalam Statuta yang disepakati juga dengan nama Forum Kerjasama LSM Papua atau disingkat FOKER.

Dengan demikian, secara formal FOKER didirikan oleh: 1). 11 LSM, yaitu LBH Jayapura, YPMD Jayapura, YKPHM Jayapura, YKB Jayapura, PPM Jayapura, Inau Jaunggi Jayapura, YMK Merauke, YASANTO Merauke, YAPSEL Merauke, YP5 Maonamani, Yayasan Rumsram Biak, dan 2). 6 unsur gereja, yaitu Delsos Keuskupan Jayapura, Delsos Keuskupan Asmat, Delsos Keuskupan Merauke, Delsos Keuskupan Sorong, Litbang Sinode GKI, Klasis Biak Timur, serta 3). 1 Unsure Perguruan Tinggi, yaitu PSL Uncen Manokwari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar