Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA
Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis dan Penyusunan Program Foker LSM Papua Tahun 2013 - 2018 yang berlangsung di Hotel Numbay, Angkasa - Jayapura, mulai tanggal 4 Maret s/d 8 Maret 2013 telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan.

Senin, 24 Desember 2012

Ini Catatan untuk Foker LSM Papua

(sumber berita : http://tabloidjubi.com/?p=7643)
Jayapura (22/12)Sejumlah catatan kritis disampaikan beberapa perwakilan masyarakat sipil, yakni aktivis hukum dan hak asasi manusia, tokoh perempuan, advokat hukum, tokoh pemuda, aktivis LSM, dan masyarakat adat. Berikut catatan kritis yang disampaikan.
Matius Murib, mantan Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua di Jayapura mengatakan masih banyak kejadian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peristiwa pelanggaran HAM di Papua, bertambah, tidak berkurang. Sebaliknya, terus meningkat. Semisal, kejadian yang baru terjadi di Wamena pekan ini, Desember 2012. Dalam kejadian itu, sebanyak 17 rumah milik warga sipil disana, dibakar.
“Ini kejadian yang baru terjadi. Tapi, aparat keamanan dan pemerintah belum menyelesaikannya dengan baik. Sebelumnya, banyak peristiwa pelanggaran HAM terjadi namun belum terselesaikan,” kata Matius dalam acara Refleksi sekaligus serah terima jabatan dari Sekretaris Eksektif (SE) lama ke SE baru Foker LSM Papua di Kantor Foker di Abepura, Jumat (21/12) malam. Matius optimis, jika peristiwa seperti itu masih dan tak mampu dibendung maka ditahun baru, 2013 nanti, ekskalasi kekerasan di Papua akan meningkat.
Fin Yarangga, tokoh perempuan sekaligus ketua jaringan perempuan HAM Papua menuturkan, pekerjaan penyelesaian masalah HAM yang selama ini dikerjakan terkesan jalan ditempat. Tak ada perubahan. Tergambar pada peristiwa-peristiwa HAM yang tak kunjung tuntas namun terus bertambah. Namun, menurutnya, pekerja HAM dan aktivis LSM tak usah mundur. Dengan adanya kejadian-kejadian itu, memotivasi pekerja HAM dan aktivis terus semangat menguranginya.
Thobias Bogobauw, mewakili tokoh pemuda berharap, Foker LSM terus mendampingi persoalan perusahaan penambangan illegal yang masih beroperasi di kawasan Degeuwo, Nabire, Papua. Pasalnya, hingga kini masih beroperasi dan melancarkan bisnisnya. “Memang kami sudah berusaha untuk menghentikan perusahaan itu. Tapi, sampai saat ini masalah itu belum selesai,” ungkapnya.
Cris Neluyuk, masyarakat adat dari Merauke mengungkapkan, saat masyarakat Malin Anim dibeberapa kampung di Merauke menderita akibat ulah perusahaan. Air yang dulunya dikonsumsi warga sudah tak lagi dikonsumsi. Ikan-ikan dalam kali mati. Hutan warga hilang karena dibabat habis perusahaan. Ibu-ibu mencari air lebih jauh lagi dari sebelumnya yang hanya di ambil didekat rumah.
Gustaf Kawer, advokat hukum menandaskan hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan adalah pembagian peran. Harus ada yang khusus mengurus dan mengadvokasi soal pelanggaran HAM, masalah perempuan, dan masalah anak, masalah hukum dan persoalan lainnya. “Harus ada pembagian peran yang jelas. Dengan demikian, apa yang dikerjakan bisa berhasil,” tuturnya.
Br. Edy Rosariyanto, direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) menuturkan, jika alam ciptaan tak dijaga secara baik maka akan rusak. “Mari kita jaga alam kita dengan baik supaya tidak rusak,” harapnya. Dia meminta, kedepan pekerja LSM dan aktivis sosial lainnya tetap bergandeng tangan untuk mengkritis kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada warga sipil dan alam.
Sejumlah catatan kritis ini disampaikan dalam acara refleksi sekaligus serah terima SE lama, Septer Manufandu ke SE baru, Lin Maloali, yang berlangsung di kantor Foker LSM Papua, Jumat (21/12) malam. (Jubi/Musa)

Senin, 10 Desember 2012

90 Kasus HAM Terjadi Diseluruh Papua

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=5978)
Jayapura, (10/12) — Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menyatakan, sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah terjadi di seluruh tanah Papua. Sembilan puluh kasus itu diantaranya, Abepura berdarah, Wasior berdarah dan Wamena berdarah.
Pernyataan itu terungkap dalam seminar yang berlangsung di Aula Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) di Padang Bulan, Abepura, Senin (10/12) sore. Dalam seminar itu, pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menaruh tema “biarkan gambar dan fakta yang berbicara” dalam seminar yang digelar. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari HAM, 10 Desember.
Melalui siaran pers yang diterima wartawan menyebut, dalam seminar itu, para pembela HAM mengatakan 10 Desember 1948 dipilih untuk menghormati menjelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengadobsi dan memproklamasikan deklarasi universal hak asasi manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia. Peringatan hari HAM sudah dimulai sejak 1950 ketika majelis umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.
Hak asasi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Masih dalam reales itu, pembela HAM di Papua telah melakukan pemantauan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara sebagai aktor seperti ; polisi, TNI dan penegak hukum dan kelompok sipil bersenjata sepanjang tahun 2012. Sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah di seluruh tanah Papua.
Dengan semangat mencari keadilan, perdamaian dan membangun kerjasama dan kemitraan disertai pemahaman bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi negara republic Indonesia. Melalui peringatan 10 Desember 2012, pembela HAM Papua mendesak Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan sejumlah hal.
Dalam siaran pers yang diberikan, pembela HAM Papua meminta Pemerintah RI menyikapi dan mengimplementasikan 11 hal. Diantaranya, Pemerintah RI harus memastikan perlakukan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk yang tujukkan kepada para tahanan politik dan warga sipil Papua. Pemerintah harus melarang secara eksplesit didalam aturan dan kebijakan serta praktik-praktik penegakan hukum. Penyiksaan harus didefinisikan dan dikrimanilasasi sebagai tanda kongkrit komitmen Indonesia untuk menerapkan pasal 1 dan 4 konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1998.
Pemerintah diminta melakukan perubahan kebijakan yang memandang warga Papua sebagai korban. Apabila harus melalui proses hukum, maka rehabilitasi hendaknya menjadi pilihan, bukan pemenjaraan. Memastikan sistem peradilan pidana makar terhadap para tersangka bersifat non diskriminatif disetiap tahapan dan mengambil tindakan-tindakan efektif memberantas gerakan kriminalisasi oleh aparat negara dan bertanggung jawab atas administrasi peradilan, termasuk hakim, jaksa, polisi dan staf lembaga pemasyarakatan secara efektif dan efisien demi keadilan dan perdamaian.
Pemerintah juga diminta segera bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM berat Wasior berdarah 2001 dan Wamena berdarah, 2003 serta kasus lainnya yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM RI. Koordinator KontraS Papua di Jayapura, Olga Helena Hamadi mengatakan kasus pelanggaran HAM hari tahun ke tahun tidak berkurang. Malah sebaliknya, terus bertambah dan meningkat tajam. “Dari tahun ke tahun, kasus HAM bukan berkurang tapi terus meningkat. Masalah yang sama diteriaki dari tahun ke tahun,” kata Olga.
Ketua komisi A DPR Papua, Ruben Magai meminta semua pihak harus berkomitmen dalam dirinya untuk mengakui kesalahan yang membuat hak orang lain terganggu. Pengampunan harus dilakukan antara pelaku pelanggaran HAM dan korban. Jika tak demikian, negara ini akan terus kacau. “Kita harus saling mengampuni. Pelaku pelanggaran HAm harus meminta mengampuni korban dan memberikan jaminan serta berjanji tak akan mengulangi perbuatannya,” tuturnya.
Seminar dalam rangka peringatan HAM, 10 Desember 2012 digelar oleh pembela HAM dari Fransiskan Internasional (Katholik), KPKC Sinode GKI di tanah Papua, DK dan P sinode Kingmi Papua, LBH Papua, Els-ham Papua, Kontras Papua, ALDP, Foker LSM Papua, Jaringan HAM Perempuan, Baptis Voice Papua, BUK (Bersatu Untuk Korban), AMPTPI, SDH2P, Ex Tapol/Napol dan Parlemen Jalanan.(Jubi/Musa