Jayapura, (10/12) — Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menyatakan, sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah terjadi di seluruh tanah Papua. Sembilan puluh kasus itu diantaranya, Abepura berdarah, Wasior berdarah dan Wamena berdarah.
Pernyataan itu terungkap dalam seminar yang berlangsung di Aula Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) di Padang Bulan, Abepura, Senin (10/12) sore. Dalam seminar itu, pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menaruh tema “biarkan gambar dan fakta yang berbicara” dalam seminar yang digelar. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari HAM, 10 Desember.
Melalui siaran pers yang diterima wartawan menyebut, dalam seminar itu, para pembela HAM mengatakan 10 Desember 1948 dipilih untuk menghormati menjelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengadobsi dan memproklamasikan deklarasi universal hak asasi manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia. Peringatan hari HAM sudah dimulai sejak 1950 ketika majelis umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.
Hak asasi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Masih dalam reales itu, pembela HAM di Papua telah melakukan pemantauan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara sebagai aktor seperti ; polisi, TNI dan penegak hukum dan kelompok sipil bersenjata sepanjang tahun 2012. Sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah di seluruh tanah Papua.
Dengan semangat mencari keadilan, perdamaian dan membangun kerjasama dan kemitraan disertai pemahaman bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi negara republic Indonesia. Melalui peringatan 10 Desember 2012, pembela HAM Papua mendesak Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan sejumlah hal.
Dalam siaran pers yang diberikan, pembela HAM Papua meminta Pemerintah RI menyikapi dan mengimplementasikan 11 hal. Diantaranya, Pemerintah RI harus memastikan perlakukan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk yang tujukkan kepada para tahanan politik dan warga sipil Papua. Pemerintah harus melarang secara eksplesit didalam aturan dan kebijakan serta praktik-praktik penegakan hukum. Penyiksaan harus didefinisikan dan dikrimanilasasi sebagai tanda kongkrit komitmen Indonesia untuk menerapkan pasal 1 dan 4 konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1998.
Pemerintah diminta melakukan perubahan kebijakan yang memandang warga Papua sebagai korban. Apabila harus melalui proses hukum, maka rehabilitasi hendaknya menjadi pilihan, bukan pemenjaraan. Memastikan sistem peradilan pidana makar terhadap para tersangka bersifat non diskriminatif disetiap tahapan dan mengambil tindakan-tindakan efektif memberantas gerakan kriminalisasi oleh aparat negara dan bertanggung jawab atas administrasi peradilan, termasuk hakim, jaksa, polisi dan staf lembaga pemasyarakatan secara efektif dan efisien demi keadilan dan perdamaian.
Pemerintah juga diminta segera bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM berat Wasior berdarah 2001 dan Wamena berdarah, 2003 serta kasus lainnya yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM RI. Koordinator KontraS Papua di Jayapura, Olga Helena Hamadi mengatakan kasus pelanggaran HAM hari tahun ke tahun tidak berkurang. Malah sebaliknya, terus bertambah dan meningkat tajam. “Dari tahun ke tahun, kasus HAM bukan berkurang tapi terus meningkat. Masalah yang sama diteriaki dari tahun ke tahun,” kata Olga.
Ketua komisi A DPR Papua, Ruben Magai meminta semua pihak harus berkomitmen dalam dirinya untuk mengakui kesalahan yang membuat hak orang lain terganggu. Pengampunan harus dilakukan antara pelaku pelanggaran HAM dan korban. Jika tak demikian, negara ini akan terus kacau. “Kita harus saling mengampuni. Pelaku pelanggaran HAm harus meminta mengampuni korban dan memberikan jaminan serta berjanji tak akan mengulangi perbuatannya,” tuturnya.
Seminar dalam rangka peringatan HAM, 10 Desember 2012 digelar oleh pembela HAM dari Fransiskan Internasional (Katholik), KPKC Sinode GKI di tanah Papua, DK dan P sinode Kingmi Papua, LBH Papua, Els-ham Papua, Kontras Papua, ALDP, Foker LSM Papua, Jaringan HAM Perempuan, Baptis Voice Papua, BUK (Bersatu Untuk Korban), AMPTPI, SDH2P, Ex Tapol/Napol dan Parlemen Jalanan.(Jubi/Musa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar