Jayapura : Mega Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, kembali disoroti oleh mahasiswa Merauke dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setelah lama tenggelam. Pembahasan soal proyek raksasa itu berlangsung di Asrama Maro di Padang Bulan, Jayapura, Rabu, 4 Juli 2012.
Dari pantauan tabloidjubi.com, pertemuan itu dipandu oleh Diana Gebze sebagai moderator. Selanjutnya, pemateri dalam pertemuan itu yakni koordinator divisi advokasi lingkungan dan Pengembangan Sumber Daya Alam (PSDA) Foker LSM Papua Abner Mansai, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Papua Matius Murib, dan Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) kampung Kaiburse, Distrik Malind, Kabupaten Merauke, Paulus Samkakai.
Diawal pembahasan itu, Diana Gebze menjelaskan, pertemuan ini dilakukan untuk menggali informasi soal perkembangan terakhir dari mega proyek MIFEE. Dari informasi itu, ada rekomendasi-rekomendasi yang harus diusulkan untuk menindak lanjuti perkembangan proyek raksasa itu. Selain rekomendasi, ada rumusan tindakan yang bakal dilakukan nanti.
“Dari diskusi ini, saya harap ada rekomendasi-rekomendasi yang dapat diusulkan untuk diperjuangkan kedepan. Selain itu, langkah-langkah apa yang akan digalakan nanti,” tutur Diana diawal diskusi sekaligus shering dengan Mahasiswa Merauke tentang MIFEE di Asrama Maro di Abepura, Rabu (4/7). Pembicara pertama, Paulus Samkakai menyatakan, sebenarnya, masyarakat pemilik lahan menolak kehadiran MIFEE. Namun, pemerintah memaksa masyarakat untuk menerimanya.
Saat ini, kata dia, masyarakat dirugikan. Mereka telah kehilangan mata pencahariannya sehari-hari. Semisal, memangkur sagu. Sagu disekitar lahan MIFEE kering. Hal ini dipicu oleh penggalian drainaise yang dilakukan oleh pemerintah. “Sekarang, sagu-sagu yang ada di kampung Kaiburse dan beberapa kampung lainnya kering karena kena air garam (air laut) yang masuk lewat drainaise yang dibuat,” ungkapnya.
“Waktu saya ke Merauke lalu mengunjungi beberapa kampung yang lahannya digunakan oleh MIFEE, hampir semua masyarakat dikampung-kampung itu menolak kehadiran MIFEE. Tapi, tidak tau bagaimana sampai bisa beroperasi,” kata Koordinator Divisi Advokasi Lingkungan dan Pengembangan Sumber Daya Alam (PDSA) Foker LSM Papua, Abner Mansai.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib mengatakan, terkait MIFEE, sebenarnya tak ada aturan yang kuat untuk memproteksi masyarakat setempat selaku pemilik lahan. Menurutnya, informasi yang didapat saat dirinya masih menjabat sebgai wakil ketua Komnas HAM perwakilan Papua, ada sekitar 37 investor yang sedang melirik Merauke. Kebanyakan perusahaan adalah perusahaan kelapa sawit. “Ini informasi yang kami dapat saat kami lakukan pemantauan di Merauke,” katanya.
Bagi Matius, MIFEE tak bisa dibicarakan oleh satu pihak namun semua pihak harus ikut berperan. Baik mahasiswa, pejabat pemerintah dan aktivis LSM. “Semua pihak harus angkat bicara soal MIFEE. Tidak bis beberapa orang membicarakan masalah ini,” tuturnya.
Diskusi sekaligus shering dengan mahasiswa tentang mega proyek MIFEE ini berlangsung sehari di Asrama Maro. Diujung diskusi sekaligus shering itu, Diana Gebze menyimpulkan tiga hal yang harus dilakukan kedepan. Kesimpulan pertama, harus ada forum ilmiah yang digelar. Kedua, ada audiens dengan instansi terkait. Terakhir, konsolidasi disetiap basis-basis yang ada disetiap kampung.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Pemerintah Kabupaten Merauke, 32 perusahaan yang telah mendapat izin prinsip akan bergerak pada beberapa sektor. Sektor kelapa sawit (316.347 Ha, Perkebunan Tebu (156.812), perkebunan Jagung (97.000 Ha), Areal HTI (973.057,56 Ha, areal tanaman pangan (69.000 Ha), pengolahan kayu serpih (2.818 Ha) dan Areal Pembangunan Dermaga (1.200 Ha). Total keseluruhan izin yang sudah dikeluarkan sebesar 1.616.234,56 Ha.
32 perusahaan yang akan masuk dalam proyek MIFEE antara lain, Wilmar, Sinarmas, Bakrie Sumatera Plantation, Medco, Bangun Cipta Sarana dan Artha Graha. Wilmar sendiri mendapat alokasi areal seluas 200.000 hektar. Padahal dalam Cetak Biru Roadmap Swasembada Gula Nasional 2010-2014, Wilmar hanya membutuhkan areal seluas 10.000 hektar dengan kebutuhan tambahan areal 10.000 hektar dan kapasitas pabrik 8000 ton perhari.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar