Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA
Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis dan Penyusunan Program Foker LSM Papua Tahun 2013 - 2018 yang berlangsung di Hotel Numbay, Angkasa - Jayapura, mulai tanggal 4 Maret s/d 8 Maret 2013 telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan.

Senin, 24 Desember 2012

Ini Catatan untuk Foker LSM Papua

(sumber berita : http://tabloidjubi.com/?p=7643)
Jayapura (22/12)Sejumlah catatan kritis disampaikan beberapa perwakilan masyarakat sipil, yakni aktivis hukum dan hak asasi manusia, tokoh perempuan, advokat hukum, tokoh pemuda, aktivis LSM, dan masyarakat adat. Berikut catatan kritis yang disampaikan.
Matius Murib, mantan Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua di Jayapura mengatakan masih banyak kejadian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peristiwa pelanggaran HAM di Papua, bertambah, tidak berkurang. Sebaliknya, terus meningkat. Semisal, kejadian yang baru terjadi di Wamena pekan ini, Desember 2012. Dalam kejadian itu, sebanyak 17 rumah milik warga sipil disana, dibakar.
“Ini kejadian yang baru terjadi. Tapi, aparat keamanan dan pemerintah belum menyelesaikannya dengan baik. Sebelumnya, banyak peristiwa pelanggaran HAM terjadi namun belum terselesaikan,” kata Matius dalam acara Refleksi sekaligus serah terima jabatan dari Sekretaris Eksektif (SE) lama ke SE baru Foker LSM Papua di Kantor Foker di Abepura, Jumat (21/12) malam. Matius optimis, jika peristiwa seperti itu masih dan tak mampu dibendung maka ditahun baru, 2013 nanti, ekskalasi kekerasan di Papua akan meningkat.
Fin Yarangga, tokoh perempuan sekaligus ketua jaringan perempuan HAM Papua menuturkan, pekerjaan penyelesaian masalah HAM yang selama ini dikerjakan terkesan jalan ditempat. Tak ada perubahan. Tergambar pada peristiwa-peristiwa HAM yang tak kunjung tuntas namun terus bertambah. Namun, menurutnya, pekerja HAM dan aktivis LSM tak usah mundur. Dengan adanya kejadian-kejadian itu, memotivasi pekerja HAM dan aktivis terus semangat menguranginya.
Thobias Bogobauw, mewakili tokoh pemuda berharap, Foker LSM terus mendampingi persoalan perusahaan penambangan illegal yang masih beroperasi di kawasan Degeuwo, Nabire, Papua. Pasalnya, hingga kini masih beroperasi dan melancarkan bisnisnya. “Memang kami sudah berusaha untuk menghentikan perusahaan itu. Tapi, sampai saat ini masalah itu belum selesai,” ungkapnya.
Cris Neluyuk, masyarakat adat dari Merauke mengungkapkan, saat masyarakat Malin Anim dibeberapa kampung di Merauke menderita akibat ulah perusahaan. Air yang dulunya dikonsumsi warga sudah tak lagi dikonsumsi. Ikan-ikan dalam kali mati. Hutan warga hilang karena dibabat habis perusahaan. Ibu-ibu mencari air lebih jauh lagi dari sebelumnya yang hanya di ambil didekat rumah.
Gustaf Kawer, advokat hukum menandaskan hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan adalah pembagian peran. Harus ada yang khusus mengurus dan mengadvokasi soal pelanggaran HAM, masalah perempuan, dan masalah anak, masalah hukum dan persoalan lainnya. “Harus ada pembagian peran yang jelas. Dengan demikian, apa yang dikerjakan bisa berhasil,” tuturnya.
Br. Edy Rosariyanto, direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) menuturkan, jika alam ciptaan tak dijaga secara baik maka akan rusak. “Mari kita jaga alam kita dengan baik supaya tidak rusak,” harapnya. Dia meminta, kedepan pekerja LSM dan aktivis sosial lainnya tetap bergandeng tangan untuk mengkritis kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada warga sipil dan alam.
Sejumlah catatan kritis ini disampaikan dalam acara refleksi sekaligus serah terima SE lama, Septer Manufandu ke SE baru, Lin Maloali, yang berlangsung di kantor Foker LSM Papua, Jumat (21/12) malam. (Jubi/Musa)

Senin, 10 Desember 2012

90 Kasus HAM Terjadi Diseluruh Papua

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=5978)
Jayapura, (10/12) — Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menyatakan, sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah terjadi di seluruh tanah Papua. Sembilan puluh kasus itu diantaranya, Abepura berdarah, Wasior berdarah dan Wamena berdarah.
Pernyataan itu terungkap dalam seminar yang berlangsung di Aula Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) di Padang Bulan, Abepura, Senin (10/12) sore. Dalam seminar itu, pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender) di Jayapura menaruh tema “biarkan gambar dan fakta yang berbicara” dalam seminar yang digelar. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari HAM, 10 Desember.
Melalui siaran pers yang diterima wartawan menyebut, dalam seminar itu, para pembela HAM mengatakan 10 Desember 1948 dipilih untuk menghormati menjelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengadobsi dan memproklamasikan deklarasi universal hak asasi manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia. Peringatan hari HAM sudah dimulai sejak 1950 ketika majelis umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.
Hak asasi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan, dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Masih dalam reales itu, pembela HAM di Papua telah melakukan pemantauan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara sebagai aktor seperti ; polisi, TNI dan penegak hukum dan kelompok sipil bersenjata sepanjang tahun 2012. Sekitar 90 an lebih kasus kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM telah di seluruh tanah Papua.
Dengan semangat mencari keadilan, perdamaian dan membangun kerjasama dan kemitraan disertai pemahaman bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi negara republic Indonesia. Melalui peringatan 10 Desember 2012, pembela HAM Papua mendesak Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengambil langkah-langkah untuk mengimplementasikan sejumlah hal.
Dalam siaran pers yang diberikan, pembela HAM Papua meminta Pemerintah RI menyikapi dan mengimplementasikan 11 hal. Diantaranya, Pemerintah RI harus memastikan perlakukan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, termasuk yang tujukkan kepada para tahanan politik dan warga sipil Papua. Pemerintah harus melarang secara eksplesit didalam aturan dan kebijakan serta praktik-praktik penegakan hukum. Penyiksaan harus didefinisikan dan dikrimanilasasi sebagai tanda kongkrit komitmen Indonesia untuk menerapkan pasal 1 dan 4 konvensi anti penyiksaan yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1998.
Pemerintah diminta melakukan perubahan kebijakan yang memandang warga Papua sebagai korban. Apabila harus melalui proses hukum, maka rehabilitasi hendaknya menjadi pilihan, bukan pemenjaraan. Memastikan sistem peradilan pidana makar terhadap para tersangka bersifat non diskriminatif disetiap tahapan dan mengambil tindakan-tindakan efektif memberantas gerakan kriminalisasi oleh aparat negara dan bertanggung jawab atas administrasi peradilan, termasuk hakim, jaksa, polisi dan staf lembaga pemasyarakatan secara efektif dan efisien demi keadilan dan perdamaian.
Pemerintah juga diminta segera bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM berat Wasior berdarah 2001 dan Wamena berdarah, 2003 serta kasus lainnya yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM RI. Koordinator KontraS Papua di Jayapura, Olga Helena Hamadi mengatakan kasus pelanggaran HAM hari tahun ke tahun tidak berkurang. Malah sebaliknya, terus bertambah dan meningkat tajam. “Dari tahun ke tahun, kasus HAM bukan berkurang tapi terus meningkat. Masalah yang sama diteriaki dari tahun ke tahun,” kata Olga.
Ketua komisi A DPR Papua, Ruben Magai meminta semua pihak harus berkomitmen dalam dirinya untuk mengakui kesalahan yang membuat hak orang lain terganggu. Pengampunan harus dilakukan antara pelaku pelanggaran HAM dan korban. Jika tak demikian, negara ini akan terus kacau. “Kita harus saling mengampuni. Pelaku pelanggaran HAm harus meminta mengampuni korban dan memberikan jaminan serta berjanji tak akan mengulangi perbuatannya,” tuturnya.
Seminar dalam rangka peringatan HAM, 10 Desember 2012 digelar oleh pembela HAM dari Fransiskan Internasional (Katholik), KPKC Sinode GKI di tanah Papua, DK dan P sinode Kingmi Papua, LBH Papua, Els-ham Papua, Kontras Papua, ALDP, Foker LSM Papua, Jaringan HAM Perempuan, Baptis Voice Papua, BUK (Bersatu Untuk Korban), AMPTPI, SDH2P, Ex Tapol/Napol dan Parlemen Jalanan.(Jubi/Musa

Rabu, 21 November 2012

Pelebaran Ruas Jalan Raya Abepura-Sentani Sudah Disetujui Warga Lokal

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=3803)

Jayapura (21/11) —Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Papua Jansen Monim, proyek pelebaran jalan raya Abepura-Sentani sudah disetujui oleh warga lokal yang berdomisili di sekitar lokasi proyek. Hal itu menjawab adanya wacana yang mengatakan, pelebaran jalan mulai dari Kampung Nendali (Netar) sampai ke Telaga Maya tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup.  
“Adanya pembuangan tanah dari pengerukan gunung yang akan dijadikan ruas jalan Raya Abepura-Sentani sudah mendapatkan persetujuan dari penduduk lokal yang tinggal disekitar lokasi tersebut,” kata Jansen Monim kepada wartawan, di Jayapura, Rabu (21/11).
Dengan adanya wacana tersebut, justru membuat Jansen Monim mempertanyakan masyarakat adat darimana yang mengajukan protes itu. Sebab sepengetahuan dirinya, Ondoafi/kepala suku yang meminta agar tanah kerukan itu dibuang saja di sepanjang pinggiran danau.
“Pembuangan tanah di daerah danau adalah permintaan masyarakat setempat. Jangan LSM ribut mulai sekarang, kenapa tidak ribut dari tahun lalu saja saat baru mulai ditimbun atau dimulainya proyek. Dengan adanya permintaan itu tentu sangat membantu kami karena pekerjaan cepat selesai jika di buang di lokasi terdekat. Sebenarnya kita mau timbun di tempat lain, akan  tetapi masyarakat minta agar ditimbun ditempatnya saja sebab bisa digunakan untuk berbagai hal, seperti membangun rumah dan lainnya,” ujarnya.
Sementara saat ditanya mengenai hutan sagu, Jansen menjelaskan, ada beberapa macam tipe pohon sagu, yakni sagu yang tidak bisa dimakan dan sagu yang hanya bisa dimakan oleh hewan seperti babi dan ada yang bisa dimakan oleh manusia.
“Sementara hutan sagu itu bukan orang Sentani punya. Itu CV Bintang Mas punya, yang sudah membeli tanah itu. Jadi yang masyarakat punya yang mana,” tanyanya.
Sedangkan soal Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), Jansen enggan berkomentar.
Seperti diketahui pelebaran jalan seputaran Kampung Harapan hingga Telaga Maya, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura dan penimbunan Danau Sentani. Mendapat tanggapan dari Forum Perjuangan Keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingkungan Hidup Papua, yang tergabung dalam berbagai elemen masyarakat dan aktivis peduli lingkungan, diantaranya Jayapura Facebook Club atau Phuyaka Institut atau Phulnst, FOKER LSM Papua, AFP3, SDP, KKDP, KI, TII dan Masyarakat Adat.
Dimana forum ini menilai, suatu kegiatan tidak seharusnya merusak lingkungan disekitarnya, dan tentu saja dalam perencanaan pembuatan pelebaran jalan sudah dipikirkan. Berbagai material tanah yang berasal dari urukan gunung akan diangkut ke suatu tempat yang telah ditentukan bukannya langsung didrop. Sayangnya masyarakat belum menerima sosialisasi soal dampak lingkungan akibat penimbunan tanah. Akibatnya mengancam dan terpaksa pelaksana proyek langsung timbun ke pinggiran Danau Sentani. (Jubi/Alex)

Selasa, 20 November 2012

Foker LSM Papua Sesali Penggusuran Tanaman Sagu di Sentani

Jayapura (20/11)—Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker-LSM) Papua di Jayapura, Papua, menyesali penebangan hutan sagu di sepanjang kawasan Kampung Harapan hingga Kampung Asei Kecil, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Lembaga itu menilai, penggusuran sagu tak sesuai penerapan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Hal ini dikemukakan Sekretaris Foker LSM Papua, Lien Maloali kepada wartawan di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (20/11). “Jika penggusuran sesuai Amdal, maka sagu tak tergusur sembarangan. Sebab kalau sesuai Amdal berarti penggusuran tak separah itu,” katanya memberi alasan.
Menurut Lien, saat ini dunia mencanangkan perlindungan sumber-sumber makanan. “Kalau dunia canangkan demikian, maka kita harus melindungi sumber-sumber makanan,” ujarnya lagi. Bagi dia, masyarakat harus mengetahui pencanangan perlindungan sumber-sumber makanan tersebut.
Harusnya, kata Lien, proyek pelebaran Jalan Raya Abepura-Sentani mengacu pada pencanangan yang dibuat. “Pembuangan materil tanah dari gunung tak usah menutup hutan sagu. Dua tempat terparah yang hutan sagunya sudah tertutup, yaitu di lokasi Telaga Ria dan Kampung Harapan,” katanya.
Penggusuran sagu sudah melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2000 tentang pelestarian kawasan hutan sagu yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura pada tahun 2000. Dalam Perda itu, pemerintah melarang pembangungan di sekitar kawasan hutan sagu.(Jubi/Musa)

Senin, 09 Juli 2012

Mega Proyek MIFEE Kembali Disorot

(sumber : http://sorpatom.wordpress.com/2012/07/09/mega-proyek-mifee-kembali-disorot/#more-198)

Jayapura :  Mega Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, kembali disoroti oleh mahasiswa Merauke dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setelah lama tenggelam. Pembahasan soal proyek raksasa itu berlangsung di Asrama Maro di Padang Bulan, Jayapura, Rabu, 4 Juli 2012.
Dari pantauan tabloidjubi.com, pertemuan itu dipandu oleh Diana Gebze sebagai moderator. Selanjutnya, pemateri dalam pertemuan itu yakni koordinator divisi advokasi lingkungan dan Pengembangan Sumber Daya Alam (PSDA) Foker LSM Papua Abner Mansai, mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Perwakilan Papua Matius Murib, dan Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) kampung Kaiburse, Distrik Malind, Kabupaten Merauke, Paulus Samkakai.
Diawal pembahasan itu, Diana Gebze menjelaskan, pertemuan ini dilakukan untuk menggali informasi soal perkembangan terakhir dari mega proyek MIFEE. Dari informasi itu, ada rekomendasi-rekomendasi yang harus diusulkan untuk menindak lanjuti perkembangan proyek raksasa itu. Selain rekomendasi, ada rumusan tindakan yang bakal dilakukan nanti.
“Dari diskusi ini, saya harap ada rekomendasi-rekomendasi yang dapat diusulkan untuk diperjuangkan kedepan. Selain itu, langkah-langkah apa yang akan digalakan nanti,” tutur Diana diawal diskusi sekaligus shering dengan Mahasiswa Merauke tentang MIFEE di Asrama Maro di Abepura, Rabu (4/7). Pembicara pertama, Paulus Samkakai menyatakan, sebenarnya, masyarakat pemilik lahan menolak kehadiran MIFEE. Namun, pemerintah memaksa masyarakat untuk menerimanya.
Saat ini, kata dia, masyarakat dirugikan. Mereka telah kehilangan mata pencahariannya sehari-hari. Semisal, memangkur sagu. Sagu disekitar lahan MIFEE kering. Hal ini dipicu oleh penggalian drainaise yang dilakukan oleh pemerintah. “Sekarang, sagu-sagu yang ada di kampung Kaiburse dan beberapa kampung lainnya kering karena kena air garam (air laut) yang masuk lewat drainaise yang dibuat,” ungkapnya.
“Waktu saya ke Merauke lalu mengunjungi beberapa kampung yang lahannya digunakan oleh MIFEE, hampir semua masyarakat dikampung-kampung itu menolak kehadiran MIFEE. Tapi, tidak tau bagaimana sampai bisa beroperasi,” kata Koordinator Divisi Advokasi Lingkungan dan Pengembangan Sumber Daya Alam (PDSA) Foker LSM Papua, Abner Mansai.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib mengatakan, terkait MIFEE, sebenarnya tak ada aturan yang kuat untuk memproteksi masyarakat setempat selaku pemilik lahan. Menurutnya, informasi yang didapat saat dirinya masih menjabat sebgai wakil ketua Komnas HAM perwakilan Papua, ada sekitar 37 investor yang sedang melirik Merauke. Kebanyakan perusahaan adalah perusahaan kelapa sawit. “Ini informasi yang kami dapat saat kami lakukan pemantauan di Merauke,” katanya.
Bagi Matius, MIFEE tak bisa dibicarakan oleh satu pihak namun semua pihak harus ikut berperan. Baik mahasiswa, pejabat pemerintah dan aktivis LSM. “Semua pihak harus angkat bicara soal MIFEE. Tidak bis beberapa orang membicarakan masalah ini,” tuturnya.
Diskusi sekaligus shering dengan mahasiswa tentang mega proyek MIFEE ini berlangsung sehari di Asrama Maro. Diujung diskusi sekaligus shering itu, Diana Gebze menyimpulkan tiga hal yang harus dilakukan kedepan. Kesimpulan pertama, harus ada forum ilmiah yang digelar. Kedua, ada audiens dengan instansi terkait. Terakhir, konsolidasi disetiap basis-basis yang ada disetiap kampung.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Pemerintah Kabupaten Merauke, 32 perusahaan yang telah mendapat izin prinsip akan bergerak pada beberapa sektor. Sektor kelapa sawit (316.347 Ha, Perkebunan Tebu (156.812), perkebunan Jagung (97.000 Ha), Areal HTI (973.057,56 Ha, areal tanaman pangan (69.000 Ha), pengolahan kayu serpih (2.818 Ha) dan Areal Pembangunan Dermaga (1.200 Ha). Total keseluruhan izin yang sudah dikeluarkan sebesar 1.616.234,56 Ha.
32 perusahaan yang akan masuk dalam proyek MIFEE antara lain, Wilmar, Sinarmas, Bakrie Sumatera Plantation, Medco, Bangun Cipta Sarana dan Artha Graha. Wilmar sendiri mendapat alokasi areal seluas 200.000 hektar. Padahal dalam Cetak Biru Roadmap Swasembada Gula Nasional 2010-2014, Wilmar hanya membutuhkan areal seluas 10.000 hektar dengan kebutuhan tambahan areal 10.000 hektar dan kapasitas pabrik 8000 ton perhari.***

Kamis, 22 Maret 2012

Foker LSM Papua Kecam Rencana Penggunaan UU Terorisme di Papua


(sumber berita : http://kbrpapua.wordpress.com/2012/12/21/foker-lsm-papua-kecam-rencana-penggunaan-uu-terorisme-di-papua/#more-535 )

 (Jakarta) Forum Kerjasama –Foker LSM Papua menilai penerapan Undang-undang Terorisme di Papua justru akan memperburuk kondisi di tanah Papua ini. Ini menyusul rencana Kepolisian Indonesia menerapkan Undang-undang Terorisme untuk menjerat pelaku kekerasan di Papua. Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua, Septer Manufandu menilai, seharusnya penanganan masalah di Papua lewat jalur dialog.

“Pemerintah bertanggung jawab untuk duduk bersama dengan warga negaranya yang ada di Papua untuk mencari solusi terbaik. Bukan kemudian  menggunakan alat-alat negara yang tidak proposional di tempat yang tidak benar yang kemudian melahirkan persoalan baru. Menurut saya ada suatu hal yang krusial yang berkaitan dengan stigma separatis itu. Pelabelan separatis ini, ini kan yang menjadi dasar justifikasi konflik-konflik ini berlangsung. Perbedaan pandangan ini baik yang kemudian melahirkan ketidakpercayaan akibat stigma separatis itu,” ungkap Septer.

Kepolisian selama ini belum pernah menerapkan pasal terorisme terhadap pelaku aksi kekerasan di Tanah Papua. Namun dua hari lalu, Markas Besar Kepolisian Indonesia mengancam akan menerapkan pasal terorisme terhadap pelaku kekerasan di Papua. (Ade/Ary)

Selasa, 06 Maret 2012

Foker LSM Papua Minta Pedagang Papua Berjualan di Mall

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=2010)
Jayapura,  (6/11) —Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua di Jayapura meminta Pemerintah Kota Jayapura memfasilitasi pedagang Papua khususnya mama-mama pedagang untuk memasarkan barang dagangannya di mall.
Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua, Lien Maloali menilai, hingga kini pedagang Papua khsusnya mama-mama pedagang, masih berjualan dimata kaki. “Sampai sekarang pedagang masih berjualan dimata kaki artinya, mereka lebih memilih untuk berjualan didepan emperan toko dan dipinggiran jalan agar setiap orang melewati tempat itu membeli barang dagangannya,” kata Lien kepada tabloidjubi.com, Selasa (6/11).
Solidaritas Pedagang Papua beserta NGO yang fokus terhadap mereka termasuk Foker meminta kepada Pemerintah agar memfasilitas mereka (pedagang) untuk mendapat akses penjualan ke mall yang ada. Dengan demikian, barang dagangannya dapat disuplai ke mall untuk dipasarkan. “Ini terkait dengan status kotamadya,” ujarnya.
Walikota Jayapura, Benhur Tomi Mano (BTM) berkomitmen mendukug penuh pembangunan pasar dan menyediakan tempat jualan yang layak bagi para pedagang asli Papua khususnya mama-mama pedagang yang belum mendapat tempat. (Jubi/Musa)

Kamis, 02 Februari 2012

Cenderawasih “Ratu-Ratu Surga Yang Kian Merana”

(sumber : http://mepow.wordpress.com/2009/06/10/cenderawasih-ratu2-surga-yang-kian-merana/)


Paradisaea rubra
Populasi burung cenderawasih di tanah Papua terancam punah. Para pekerja proyek jalan dan pengusaha hutan di daerah itu sering memburu burung-burung bernilai jutaan rupiah ini, untuk dijual. Masih ada 11 jenis cenderawasih berkeliaran di 13 kabupaten di Papua, namun belum terdata. Suatu saat populasi cenderawasih diPapua bakal punah. Pasalnya, tidak ada pemeliharaan dan perawatan yang tepat, sementara hutan di Papua dari tahun ke tahun terus dibabat. Selain itu penjualan satwa semakin marak saja.
Misalnya para pekerja proyek jalan dan buruh pengusaha hutan, entah karena gaji kecil atau karena apa, sering tidur di hutan untuk menangkap burung – burung itu. Harganya burung cenderawasih yang sudah mati sampai jutaan rupiah di luar negeri, apalagi masih hidup.
Paradisaea rudolphi
Jenis-jenis cenderawasih yang berkeliaran di hutan belantara Papua ada 11, yakniPtilorii Magnificus di Merauke, Cicinurus Regius di Biak, Cicinnurus Magnificus jarang ditemukan kecuali harus menunggu berhari-hari di hutan, Cicinnurus Respublicajuga jarang ditemukan, Paradisae Minor terbanyak di Nabire dan Manokwari,Paradisae Rubrae di Jayapura, Paradisae Apoda di Manokwari. Jenis terakhir ini lebih besar dan bulu-bulu sayap yang indah dipakai oleh perempuan Papua untuk menghias kepala pada pesta adat. Kemudian Paradisae Reggiana di Timika,Lophorina Superba di Manokwari, Seleucidis Melanoleuca di Jayapura dan Sorong dan Pteridophora Alberti di Timika.Paradisaea decora
Pendataan dan pengawasan burung cenderawasih membutuhkan banyak petugas, banyak dana dan fasilitas pendukung dibutuhkan, dan harus dilakukan serentak, pada waktu yang sama di seluruh daerah. hal ini yang menyebabkan prosespelestarian dan proteksi cenderawasih sangat kurang. Pendataan satwa langka seperti cenderawasih berada di bawah scientific authority, pusat penelitan danpengembangan biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan lembaga-lembaga pemerintah seperti BKSDA dan Taman Nasional.
Cicinnurus regius
Cicinnurus magnificus
Parotia sefilata
Memang terasa sangat berat dan sulit untuk menjaganya tetap lestari tapi apakah pemerintah dan kita akan diam saja??? Mungkin anak cucu kita hanya akan mendengar cerita kita dan melihat foto burung surga ini saja.