Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA

SELAMAT DAN SUKSES : SEMINAR DAN LOKAKARYA FOKER LSM PAPUA, 4 - 8 MARET 2013, JAYAPURA
Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis dan Penyusunan Program Foker LSM Papua Tahun 2013 - 2018 yang berlangsung di Hotel Numbay, Angkasa - Jayapura, mulai tanggal 4 Maret s/d 8 Maret 2013 telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan.

Selasa, 26 Februari 2013

KOMNAS HAM RI DIMINTA TURUN LAPANGAN



(sumber berita : http://tabloidjubi.com/?p=13698)
Jayapura, 26/2 (Jubi) — Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia (RI) diminta tidak larut dalam polemik internal terkait masa jabatan ketua komisioner, tetapi bisa turun lapangan dalam penyelidikan kasus-kasus HAM.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Ham di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth)“Banyak kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan, sehingga tidak perlu sibuk dengan masa jabatan, terutama dalam penyelesaian konflik dan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua,” ujar pengacara, Gustaf Kawer, di Abepura, Selasa.
Gustaf Kawer juga meminta agar Natalis Pigai yang juga putra asli Papua yang bekerja di Komnas HAM RI, bisa memperjuangkan kasus-kasus yang belum terselesaikan.
“Dia mungkin juga satu orang anggota, sehingga apabila dipaksakan untuk memperjuangkan masalah yang ada di Papua, memang sangat susah, namun harus di desak, supaya ada perhatian,” katanya.
Dirinya menilai, kinerja Komnas HAM pada penanganan kasus tahun 2003 – 2004 sangat berjalan baik, hingga tingkat pengadilan seperti kasus Abepura berdarah serta adanya kasus wasior yang sempat mendapat tanggapan dari pihak legistaltif.
“Namun, kinerja Komnas HAM saat ini belum terlihat jelas, sementara sudah diributkan dengan masalah internal terkait jabatan yang dirubah dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun yang sangat tidak tepat,” ungkapnya.
Untuk melihat substansi kasus, tidak terletak pada ketua umumnya, kata pengacara handal yang sering menangani kasus-kasus HAM di Papua ini, tetapi harus melihat bersama-sama korban untuk memberikan kepastian kepada korban apakah ini pelanggaran ham atau tidak.
Sementara itu, Ketua Baptis Voice Papua, Matius Murib mengatakan, kinerja Komnas HAM RI harus harus diperbesar kewenangannya, sehingga korban pelanggaran HAM sekurang-kurangnya bisa mendapat perlindungan, kalau tidak maka tidak akan mendapat perhatian tersebut.
“Memang ada seperti nota kesepahaman antara Komnas HAM dengan aparat terkait, namun sebatas koordinasi dan bukan saling memaksa, sehingga harus ada penyelidikan, penyidikan hingga rekomendasi yang harus di tindak lanjuti,” paparnya.
“Sedangkan terkait kasus-kasus yang terjadi di Puncak Jaya sejak tahun 2004, Komnas HAM RI harus juga turun lapangan,  untuk memastikan ada pelanggaran ham atau tidak?” tandasnya.
Lanjut Murib, sangat berlebihan jika ada yang  mengatakan pelangaran HAM, tanpa ada penyelidikan terdahulu dari Komnas HAM yang berhak memberikan statment tersebut. “Akan tetapi tidak dibenarkan, mencabut nyawa manusia,” kata Murib, yang juga juga mantan Wakil Ketua Komnas HAM Perakilan Papua ini.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan Ham di Papua, yang terdiri dari Foker LSM Papua, LP3BH Manokwari, ELSHAM Papua Barat, SKPKC Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, Jaringan Jerha HAM Perempuan Papua, AJI Papua, Baptis Voice Papua, Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi serta pengacara dan pegiat HAM di Tanah Papua, menyikapi polemik internal Komnas HAM RI terkait masa jabatan ketua yang dirubah lewat tata tertib dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun. (Jubi/Eveerth)

Senin, 25 Februari 2013

KEPEMIMPINAN KOMNAS HAM DIPERTANYAKAN

(sumber berita : http://tabloidjubi.com/?p=13495)

Jayapura, 25/2 (Jubi)—Perubahan masa kepemimpinan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun, dinilai bukanlah alasan tepat, sebab dipilih berdasarkan kapasitas dan kompetensinya.
Hal ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua, yang terdiri Foker LSM Papua, LP3BH Manokwari, ELSHAM Papua Barat, SKPKC Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, Jaringan Jerha HAM Perempuan Papua, AJI Papua, Baptis Voice Papua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi serta pengacara dan pegiat HAM di Tanah Papua, saat jumpa pers di Rumah Makan Rempah-Rempah di Abepura, Kota Jayapura, Senin (25/2).
“Komnas HAM RI, bukanlah lembaga yang mewarisi struktur birokrasi orde baru, sehingga membutuhkan perubahan drastis dalam birokrasinya, sebabnya perubahan kepemimpinan setahun sekali, jika dipaksakan, akan menjadikan Komnas HAM terus berhadapan dengan publik, LSM, akademisi, pemerhati HAM dan pihak terkait lainnya, karena telah mendapat penolakan dari publik,” kata Direktur ELSAHAM Papua Barat, Ferry Marisan.
Sekadar diketahui, Kamis 10 Januari 2013 lalu, Komnas HAM RI telah menyetujui tata tertib baru dalam Rapat Paripurna Komnas HAM. Dimana, perubahan tata tertib yang krusial adalah masa jabatan Ketua Komnas HAM dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun. Tapi tata tertib ini mendapat tanggapan dan kritikan keras dari internal Komans HAM RI, maupun kalangan masyarakat sipil, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua.
Dikatakan, Ferry, perubahan tata tertib ini, selain berujung demisionernya Ketua Komnas HAM yang baru berusia dua bulan lebih, diduga juga sarat kepentingan dan bertujuan melemahkan kinerja Komnas HAM. “Sebabnya, kami mengajak agar DPR – RI dan publik terus memonitor Komnas HAM RI, agar setia berada di hjalur yang benar,” kata Ferry , yang dibenarkan Gustaf Kawer, salah pengacara yang banyak menangani kasus-kasus HAM di Papua.
Sementara itu, Sekertaris Ekesekutif Foker LSM, Lien Maloali meminta kepada Komisi III DPR – RI dan para komisioner Komnas HAM untuk segera menyelesaikan masalah internal dalam tubuh Komnas HAM. “Kami juga mendukung sepenuhnya pandangan Komisi III DPR – RI, agar Komnas HAM mengembalikan ketentuan mengenai kepemimpinan Komnas HAM, seperti semula yaitu 2,5 tahun atau menetapkan masa kepemimpinan Komnas HAM selama 5 tahun,” tuturnya, yang dibenarkan Fientje Yarangga, selaku Koordinator TIKI, Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua dan Papua Barat.(Jubi/Eveerth)

PERUBAHAN MASA KEPEMIMPINAN KOMNAS HAM DIPERTANYAKAN

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=13495)

Jayapura, 25/2 (Jubi)—Perubahan masa kepemimpinan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun, dinilai bukanlah alasan tepat, sebab dipilih berdasarkan kapasitas dan kompetensinya.
Hal ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua, yang terdiri Foker LSM Papua, LP3BH Manokwari, ELSHAM Papua Barat, SKPKC Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, Jaringan Jerha HAM Perempuan Papua, AJI Papua, Baptis Voice Papua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi serta pengacara dan pegiat HAM di Tanah Papua, saat jumpa pers di Rumah Makan Rempah-Rempah di Abepura, Kota Jayapura, Senin (25/2).
“Komnas HAM RI, bukanlah lembaga yang mewarisi struktur birokrasi orde baru, sehingga membutuhkan perubahan drastis dalam birokrasinya, sebabnya perubahan kepemimpinan setahun sekali, jika dipaksakan, akan menjadikan Komnas HAM terus berhadapan dengan publik, LSM, akademisi, pemerhati HAM dan pihak terkait lainnya, karena telah mendapat penolakan dari publik,” kata Direktur ELSAHAM Papua Barat, Ferry Marisan.
Sekadar diketahui, Kamis 10 Januari 2013 lalu, Komnas HAM RI telah menyetujui tata tertib baru dalam Rapat Paripurna Komnas HAM. Dimana, perubahan tata tertib yang krusial adalah masa jabatan Ketua Komnas HAM dari 2,5 tahun menjadi 1 tahun. Tapi tata tertib ini mendapat tanggapan dan kritikan keras dari internal Komans HAM RI, maupun kalangan masyarakat sipil, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua.
Dikatakan, Ferry, perubahan tata tertib ini, selain berujung demisionernya Ketua Komnas HAM yang baru berusia dua bulan lebih, diduga juga sarat kepentingan dan bertujuan melemahkan kinerja Komnas HAM. “Sebabnya, kami mengajak agar DPR – RI dan publik terus memonitor Komnas HAM RI, agar setia berada di hjalur yang benar,” kata Ferry , yang dibenarkan Gustaf Kawer, salah pengacara yang banyak menangani kasus-kasus HAM di Papua.
Sementara itu, Sekertaris Ekesekutif Foker LSM, Lien Maloali meminta kepada Komisi III DPR – RI dan para komisioner Komnas HAM untuk segera menyelesaikan masalah internal dalam tubuh Komnas HAM. “Kami juga mendukung sepenuhnya pandangan Komisi III DPR – RI, agar Komnas HAM mengembalikan ketentuan mengenai kepemimpinan Komnas HAM, seperti semula yaitu 2,5 tahun atau menetapkan masa kepemimpinan Komnas HAM selama 5 tahun,” tuturnya, yang dibenarkan Fientje Yarangga, selaku Koordinator TIKI, Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua dan Papua Barat.(Jubi/Eveerth)

KOMNAS HAM RI DIMINTA SELESAIKAN KASUS PAPUA

(sumber : http://tabloidjubi.com/?p=13518)

Jayapura, 25/2 (Jubi)—Terkait banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua meminta Komnas HAM Republik Indonesia (RI) menindaklanjutinya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua yang terdiri Foker LSM Papua, LP3BH Manokwari, ELSHAM Papua Barat, SKPKC Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua, AJI Papua, Baptis Voice Papua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi, serta pengacara dan pegiat HAM di tanah Papua.
Direktur ELSHAM Papua Barat, Ferry Marisan mengatakan tanah Papua yang terdiri Provinsi Papua dan Papua Barat, adalah wilayah yang banyak kasus pelanggaran HAM yang belum ditindaklanjuti  Komnas HAM dan negara, dan juga sangat jelas berkepentingan dengan penyelesaian masalah internal Komnas HAM RI.
“Sekian banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi, sehingga Komnas HAM bukan hanya duduk di kantor saja dan berkomentar, tetapi harus bisa turun ke lapangan menyelidiki dan mengumpulkan data serta advokasi kasus hingga penyelesaiannya,” kata Ferry dalam jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua, kepada wartawan di Rumah Makan Rempah-Rempah, Abepura, Kota Jayapura, Senin (25/2).
Pihaknya juga menjelaskan, banyak kasus yang terjadi seperti, Biak berdarah 6 Juli 1998, Sorong 5 Juli 199, Timika 2 Desember 199, Merauke 16 Februari 2000, Nabire 28 Februari hingga 4 Maret 2000 dan Wamena berdarah tahun 2003. “Juga adanya kasus Kongres Rakyat Papua III tahun 2011, semuanya membutuhkan bukti kinerja para komisioner Komnas HAM periode 2012 – 2017,” katanya.
Sementara itu, salah satu pengacara, Gustaf Kawer menilai Komnas HAM harus bisa melakukan tugas dan fungsinya dengan baik untuk sebuah penegakan HAM di Papua, sebab banyak kasus yang belum terselesaikan. “Sudah tentu akan menciderai harapan masyarakat Papua atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua serta menimbulkan keprihatinan bagi masyarakat nasional dan internasional, apalagi kita ketahui bersama banyak kasus yang belum terselesaikan, seperti kasus Abepura berdarah hingga kasus Wasior dan kasus-kasus lainnya,” ungkapnya. (Jubi/Eveerth)